*catatan oleh Historian Semarang, Rukardi Achmadi
NV. Drukkerij G.C.T. Van Dorp & Co. Banyak disebut sebagai Gedung Van Dorp atau sebelum menjadi Museum 3D sempat disebut Gedung Merah karena cat merah yang mendominasi tembok luar dari Gedung tersebut.
Pada masanya, Van Dorp merupakan perusahaan percetakan dan penerbitan ternama. Selama kurang lebih satu abad, ia memproduksi bahan bacaan bermutu untuk masyarakat Hindia Belanda. Meski dimiliki oleh seorang Belanda, Van Dorp tidak hanya mencetak buku-buku berbahasa Belanda. Perusahaan yang berlokasi di Oudstadhuis Straat (sekarang Jalan Branjangan, kawasan Kota Lama Semarang) ini juga menerbitkan kitab-kitab berbahasa Jawa dan Melayu, seperti Babad Tanah Djawi versi Wedana distrik ing Magetan Raden Panji Jaya Subrata (empat jilid), Babad Pacina (terbit 1874) yang mengisahkan peristiwa pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap VOC pasca pembantaian di Batavia pada 1740, serta Serat Kancil, Awit Kancil Kalahiraken Ngantos Dumugi Pejahipun Wonten ing Nagari Mesir, Mawi Kasekaraken (1871).
Van Dorp juga pernah menerbitkan Slompret Melajoe (1860-1911), surat kabar pertama di Semarang yang menggunakan bahasa Melayu. Buku-buku dan surat kabar terbitan Van Dorp tersebar di seantero tanah Hindia dan menjadi rujukan sejumlah sarjana terkemuka, antara lain Dr. B.J.O. Schrieke dan Prof. Dr. PA. Hoessein Djajadiningrat.
NV. Drukkerij G.C.T. Van Dorp & Co, mengutip Amen Budiman, didirikan oleh G.C.T. Van Dorp, seorang Belanda totok penjilid buku yang mengadu peruntungan dengan menjadi serdadu di Hindia Belanda. Disela menjalankan tugas sebagai tentara, dia membuka usaha percetakan dan penerbitan di Semarang. Pelan-pelan usahanya maju pesat, hingga pada 1857, Van Dorp mampu membeli firma de Olifant & Co, perusahaan percetakan swasta pertama di Hindia Belanda, yang pernah menerbitkan surat kabar Semarang Nieuws en Advertentieblad (cikal bakal Koran de Locomotief). Sebagai etalase untuk menjajakan produk-produknya, Van Dorp membuka sebuah toko buku di Bodjong (sekarang Jalan Pemuda), tak jauh dari Hotel Du Pavillon.
Tahun 1900, perusahaan ini berikhtiar memperluas pasar dengan membuka cabang di Surabaya. Sepuluh tahun kemudian Van Dorp meningkatkan statusnya menjadi sebuah NV. Langkah itu disusul dengan pembaruan mesin-mesin cetak pada 1930-an. Sebagai perusahaan besar, Van Dorp sanggup mempromosikan produk-produknya melalui penerbitan 50 ribu katalog yang disebarkan ke pelbagai daerah.
Ketika semakin uzur dan merasa tak sanggup bekerja lagi, Van Dorp menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada seorang Belanda bernama Prins. Namun orang kepercayaan ini kemudian mengopernya kepada Ravenswaay dan Leeff. Terakhir, NV. Drukkerij G.C.T. Van Dorp & Co jatuh ke tangan Van Eck dan Kraaienbrink. Pasca proklamasi kemerdekaan RI, Van dorp masih beroperasi. Ia baru benar-benar tancep kayon (mati total) pada akhir 1950-an, ketika aset-asetnya dinasionalisasi dan diambil alih oleh pemerintah RI. Oleh pengelola baru, usaha percetakan di Jalan Branjangan dilanjutkan dengan bendera PT. Karya Nusantara. Adapun toko buku di Jalan Pemuda berganti nama menjadi Toko Buku Permata.
Namun di balik nama besar Van Dorp, terselip kisah muram para buruh yang bekerja di dalamnya. Dipicu oleh pemberian upah rendah di tengah melangitnya harga barang kebutuhan, pada awal 1920, buruh Van Dorp melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut perusahaan meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki kondisi kerja. Pemogokan itu kemudian diikuti oleh para buruh dari perusahaan percetakan dan penerbitan lain di Semarang, seperti De Locomotief, Misset, Benjamin, Warna Warta, dan Bisschop. Aksi yang diadvokasi oleh Vakgroep Sarekat Islam Semarang Afdeeling Drukkerijen (Sarekat Islam Semarang bagian Buruh Percetakan) dan Persatoean Perkoempoelan Kaoem Boeroeh (PPKB) Vakcentrale itu berlangsung selama lebih dari dua bulan. Pemogokan berakhir, setelah Residen Semarang turun tangan hingga perusahaan-perusahaan itu memenuhi sebagian dari tuntutan mereka.
Hingga 2016, gedung bekas Van Dorp tak lagi hiruk-pikuk oleh suara mesin dan aktivitas kerja para buruh cetak. Meski demikian, bukan berarti ia tak digunakan lagi. Bangunan bergaya minimalis itu, diam-diam dipakai untuk ruang penyimpanan kendaraan dan bengkel kerja sebuah perusahaan mebel berskala kecil. Seperti penampakan luarnya, bagian dalam gedung ini juga tak terawat dengan baik. Pelesteran dindingnya banyak yang mengelupas. Sebagian di antaranya ditambal serampangan dengan adonan semen baru. Lebih parah dari itu, konstruksi kuda-kuda di atap salah satu bagian gedung, sudah diganti dengan bahan baja ringan. Di mana batangan-batangan kayu jati bekas konstruksi itu? Entahlah. Sementara, material bahan baku dan peranti pembuatan mebel teronggok, tak teratur di sembarang tempat. Nasib bangunan ini sepertinya tak seberuntung buku-buku lawas terbitan Van Dorp yang kini masih tersimpan dengan baik di sejumlah perpustakaan dan rak buku kolektor.
(Rukardi)
Catatan Editor:
Tahun 2017, Gedung Van Dorp dipugar menjadi Dream Museum Zone (DMZ), Ratusan gambar seni yang membuat lukisan dua dimensi menjadi tiga dimensi; konon, DMZ kini menjadi 3D (tiga dimensi) museum terbaik di Indonesia, dengan120 gambar yang terdiri atas 25 tema.
Keterangan gambar
Gambar atas: diambil tahun 1858, fotografer tidak diketahui
Gambar bawah: diambil 12 April 2016, oleh Rukardi