Gedung GKBI (Gabungan Kopersi Batik Indonesia) menjadi salah satu venue utama Festival Kota Lama Semarang 2019. Di gedung ini digelar Pameran lukisan, fotografi, dan Semarang Kuno, Kini, dan Nanti setiap hari sejak tanggal 13 hingga 22 September. Pameran dibuka gratis untuk umum dari pukul 12:00 hingga 21:00 WIB.
Lantai satu digelar pameran lukisan karya Gupta Chancai. Gupta lahir di India tahun 1971, bermula dari ahli teknologi tekstil dan pakaian lalu bekerja diperusahaan pakaian di Inonesia tahun 1998. “Secara profesional saya mulai melukis di tahun 2012”, ucap Gupta. Lukisannya dibangun dari banyak lapisan ide, masing-masing ide itu menciptakan warna, ide mengalir sendiri di permukaan kanvas yang terbuka sesuai interpretasi penonton. Pokok bahasan lukisannya adalah kepercayaan akan tradisional dan abstrak yang dipadukan gaya modern. Pameran lukisan ini diberi nama “Canvas By Heart” karena melukisnya menggunakan perasaan yang tertuang dalam sebuah lukisan abstrak bergaya tradisional modern. Koleksi seni sebagai alat untuk memicu dialog yang kaya tentang ide dan keprihatinan zaman kita, pada akhirnya mengisnpirasi orang-orang untuk mengambil risiko, belajar, dan bertumbuh.
Naik ke lantai 2, pameran fotografi dan buku-buku tentang foto. Disinijugadipamerkan poster-poster Semarang Kuno, Kini, Nanti karya dosen arsitektur Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang. Dosen tersebut adalah Dr. Ars Eko Nursanty, ST, MT. Poster tersebut berjudul “Historic Urban Landscape (HUL) Of Semarang Cosmopolitan City”. Pameran tersebut menggali DNA Kota Semarang menggunakan Historic Urban Landscape di wilayah pusat dagang Semarang lama yaitu Kauman, Pecinan, Kampung Melayu, dan Kota Belanda (Kota Lama). HUL merupakan sebuah metode penelitian untuk menceritakan sebuah metode penelitian untuk menceritakan sebuah tempat dapat memiliki makna melalui 3 lapisan periode yaitu saat ini, yang lalu, dan masa lalunya masa lalu hingga pada akhirnya dapat memberikan rekomendasi makna yang harus dijaga sebagai warisan budaya untuk generasi ke depan. Dalam temuan teori itu muncul sebuah makna yang mampu bertahan pada lapisan-lapisan generasi berikutnya.
Nah yang cukup menarik di lantaiduainiadalahPameran Kopi Susu. Pameran Kopi Susu bukan kopi dan susu yang biasa diminum. Namun pameran fotografi karya Rosa Verhoeve yang bertema Kopi Susu. Rosa lahir di Belanda di lingkungan tandus di Amstelveen. Sebagai generasi kedua Indo, Rosa tumbuh dalam suasana kenangan yang tertutup. Setelah di Belanda, orang tua Rosa mengubur dalam-dalam masa lalu kolonial untuk selama-lamanya. Rosa pun penasaran dengan Hindia Timur (Indonesia), karena kedua orang tuanya terlihat jauh lebih bahagia daripada hidup di Belanda. Rosa penasaran dengan Indonesia, pada tahun 1958, dia akhirnya mengunjungi Indonesia dan melakukan proyeknya selama 7 tahun. Dengan perjalanan Kopi Susunya, Rosa akan menggali nostalgia kehidupan orang tuanya ketika berada di Indonesia. Kopi Susu tidak merujuk pada masa lalu yang tidak berubah, tetapi menjadi ruang imajiner yang abadi. “Saya telah berusaha untuk menciptakan kembali keberadaan saya atau sebagai anak dari 2 dunia menjadi bahasa visual puitis”, kata Rosa. Eksperimen lebih dari sekedar sejarah pribadi. Sekarang ada sekitar 1,6 juta jiwa orang kopi susu yang tinggal di Belanda. Seperti generasi kedua dan ketiga dapat mengidentifikasikan diri dari tema Kopi Susu.